Aku hanyalah Aku aku hanya ingin sharing tentang perempuan, anak dan berbagai issue yang selama ini mencabik-cabik hati kita, melukai nurani kita dan memecah persaudaraan dan persahabatan kita. aku hanya ingin bicara tentang kita.. tentang kepedulian kita…. pada jiwa, rasa dan pelajaran hidup kita. mari kita sharing, berbagi dan bersuara, berjuang untuk damai kita.

Keep on Shinning

Foto saya
Denpasar, Bali, Indonesia
Curious, Cheerfull, easy going, I do what I like and I like what I do

Rabu, Juli 02, 2008

Pekerja Rumah Tangga Nasibmu Kini

Pekerja rumah tangga, yang di negeri ini lebih sering disebut Pembantu rumah tangga, memang merupakan bagian pekerja yang sangat rentan mengalami kekerasan di tempat kerjanya bahkan hingga tewas. Pekerja rumah tangga yang selama ini tidak diposisikan sebagai pekerja (workers) tetapi lebih sering diposisikan sebagai pembantu (helpers) sehingga dalam hal hak mereka tidak mendapatkan hak selayaknya pekerja yang mendapatkan perlindungan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan.
Bila melihat bagaimana proses perekrutan yang kebanyakan hanya melalui perantara keluarga atau dari mulut ke mulut, ditambah lagi dengan kebanyakan PRT adalah perempuan bahkan anak perempuan yang berasal dari keluarga miskin dan tidak berpendidikan tentu akan semakin melemahkan posisi PRT.
Kekerasan tidak hanya dialami PRT yang ada di negeri ini saja tetapi kekerasan bahkan tetap mengikuti jejak langkah PRT Indonesia hingga ke luar negeri, kurangnya perlindungan hukum membuat kondisi kekerasan terhadap PRT ini tetap terjadi bahkan kian marak terjadi.
Dalam UU tenaga kerja Indonesia, PRT bukan pekerja yang karena yang mempekerjakannya bukan pengusaha/badan usaha, walaupun saat ini sudah ada sedikit angin segar dalam UU PKDRT, PRT termasuk sebagai salah satu objek yang dilindungi dari segala bentuk kekersan yang terjadi dalam rumah tangga, tetapi hingga kini belum berjalan maksimal khususnya yang berkaitan dengan kekerasan yang dialami oleh PRT.
PRT sering kali bekerja dalam waktu yang sangat panjang, tetapi tidak dihitung sebagai waktu lembur dan tidak ada waktu yang pasti untuk istirahat atau cuti, termasuk gaji/upah yang sangat minim bahkan jauh dari upah minimum pekerja dan berbagai hal lain yang sering dialami oleh PRT tetapi hingga kini tetap tidak ada perhatian serius bagi keberadaan mereka dari pemerintah.
Untuk itu, ke depan perlu dilakukan legislasi khusus yang mengatur hak-hak PRT

POLIGAMI : Diskriminasi Perempuan

Secara etimologis, istilah poligami berasal dari bahasa Yunani yaitu Apolus yang artinya banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Kata lain yang mirip dengan itu ialah kata poligini, juga berasal dari bahasa Yunani yaitu Polus yang berarti banyak dan gene yang berarti perempuan. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan poligami dan poligini adalah suatu system perkawinan dimana seorang laki-laki mengawini lebih dari seorang perempuan dalam waktu bersamaan.
Terkait dengan poligami, negara justru mengukuhkan institusi poligami tersebut lewat peraturan yang ada, salah satunya melalui Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam pasal 3 ayat 1 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami, namun dalam ayat 2 disebutkan bahwa pengadilan dapat memberikan ijin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, jadi ada poligami bersyarat yang bisa dilakukan oleh suami melalui ijin pengadilan. Adapun syarat itu diantaranya :
1. bila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
2. bila istri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. bila istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Persyaratan tersebut menunjukkan bahwa suami dalam perkawinan memiliki privileged (keistimewaan) seksual dan kekuasaan yang lebih dibandingkan istri, khususnya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan biologis. Tetapi bagaimana kalau suami yang tidak mampu menjalankan kewajibannya, mengalami cacat badan atau mandul, apakah istri juga boleh poliandri ?, pertanyaan ini sering muncul dalam setiap diskusi tentang poligami.
Dalam kenyataannya poligami yang marak terjadi saat ini, sangat sedikit melalui proses ijin pengadilan, lebih banyak orang berpoligami tanpa ijin pengadilan bahkan tanpa ijin istri, salah satunya dilakukan melalui perkawinan bawah tangan. Dengan maraknya hal itupun tidak ada tindakan dari negara terhadap para pelaku poligami yang tidak mengikuti mekanisme dan prosedur yang telah ditentukan dalam undang-undang, padahal dalam KUHP, poligami tanpa seijin istri ini dikualifikasikan sebagai sebuah tindak pidana dan diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara yaitu yang disebutkan dalam pasal 279 KUHP. Dan apabila ketika menikah lagi suami menyembunyikan status pernikahan sebelumnya, suami bisa diancam hukuman penjara maksimal 7 tahun ( Pasal 279 ayat 2 KUHP).
Hal ini tentu sangat disayangkan sehingga perlu ada komitmen yang tegas dari negara untuk benar-benar menindak siapapun yang melakukan tindak pidana dan benar-benar nerapkan sanksi tegas apabila ada yang melanggar ketentuan undang-undang. Bahkan akan sangat baik bila pasal yang mengatur tentang poligami dihapuskan dan juga dilakukan amandemen terhadap undang-undang perkawinan.